Sejak tahun 2018 lalu, Mahkamah Agung telah memberlakukan e-court atau pengadilan elektronik, yaitu platform baru dalam penyelenggaraan dan administrasi peradilan di Indonesia. Melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 yang kemudian diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik, Mahkamah Agung menetapkan benchmark penyelenggaraan dan administrasi peradilan secara elektronik yang mencakup:
- pendaftaran secara elektronik (e-filing);
- pembayaran secara
- elektronik (e-payment);
- pemanggilan secara elektronik (e-summon); dan
- persidangan secara elektronik (e-litigation).
Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menjawab tantangan zaman dan kebutuhan berhukum yang menghendaki proses yang lebih cepat, efektif, dan efisien. Pada tataran makro, e-court merepresentasikan konsep green government yang secara perlahan mengubah cara kerja lembaga dari paper-based menjadi paperless. Karakteristik penyelenggaraan peradilan di era industri 4.0 adalah peradilan yang sederhana, efektif, efisien, berbasis teknologi informasi, dan karenanya meminimalisir
penggunaan kertas (paperless). Karakteristik inilah yang ingin dijadikan sebagai bagian internal dalam penyelenggaraan peradilan di Indonesia. Karenanya, selain menekankan pada kualitas penyelenggaraan peradilan, aspek tata laksana dan administrasinya juga perlu untuk diperbarui sedemikian rupa sehingga mampu menjawab ekspektasi tersebut. Di Indonesia, ada beberapa peraturan yang terkait dengan transaksi atau administrasi elektronik, termasuk tanda tangan elektronik, yaitu:
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE);
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU RevITE);
- Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP ITE);
- Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik.
Dalam administrasi perkara secara elektronik, salah satu isu hukum yang mengemuka adalah penggunaan tanda tangan elektronik (electronic signatures). Penggunaan tanda tangan elektronik ini merupakan implikasi dari shitfting platform administrasi perkara yang semula paper-based menjadi digital-based. Dalam platform baru ini, seluruh kegiatan dalam administrasi keperkaraan terselenggara melalui satu aplikai yang mengintegrasikan seluruh elemen dalam pola bindalmin, baik dari registrasi, tata persuratan, pemanggilan, pemberkasan, persidangan, putusan, dan pengambilan
produk pengadilan. Pasal 26 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik (Perma) menegaskan bahwa putusan/penetapan yang diucapkan secara elektronik merupakan salinan putusan/penetapan yang dibubuhi tanda tangan elektronik menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hanya satu pasal yang secara khusus menyebutkan pembubuhan tanda tangan elektronik dalam administrasi e-court dan belum diikuti dengan petunjuk teknis implementasinya di lapangan. Demikian, sehingga penerapan tanda tangan elektronik masih menimbulkan beberapa permasalahan hukum yang sangat mendasar seperti apa dan bagaimana bentuknya, otentikasinya, daya jangkau atau cakupan penerapan, dan lainnya.
0 comments:
Post a Comment