Thursday 7 May 2020

Penerapan Tanda Tangan Elektronik (Digital Signature) Pada Perjanjian Kerja


doktorhukum.com – Dengan adanya Revolusi Industri 4.0 saat ini banyak Perusahaan mulai beralih  menggunakan Tanda Tangan Elektronik (TTE) pada Perjanjian Kerja, perubahan tersebut pastinya akan memberikan banyak kemudahan. Seperti kemudahan dalam mengakses dokumen, menghemat waktu, keamanan terjamin, sehingga dapat mengurangi kehilangan data (dokumen).

Penerapan Tanda Tangan Elektronik tersebut harus tetap memperhatikan aspek hukum tentang Sahnya Perjanjian Kerja dan kekuatan pembuktian apabila perjanjian kerja tersebut digunakan sebagai Alat Bukti oleh perusahaan dalam Perselisihan Hubungan Industrial di Pengadilan.

Sebelum kita melakukan analisis hukum Penerapan Digital Signature pada Perjanjian Kerja terkait diatas mari kita baca dan pahami terlebih dahulu perihal Digital Signiture (Tanda Tangan Elektronik/digital) berikut ini:

Tanda Tangan Elektronik (e-signature) adalah sebuah skema matematis yang memiliki keunikan dalam mengidentifikasikan seorang pengirim (subjek hukum). Tanda Tangan Elektronik bukanlah tandatangan basah yang di-scan. Umumnya kita masih memandang tanda tangan digital hanyalah berupa dokumen manual yang dipindahkan menjadi digital dan tanda tangan bisa dapat langsung ditempel ke perjanjian kerja yang hendak dibuat.

Berikut analisis peraturan perundang-undangan terkait penerapan Digital Signature pada perjanjian kerja:

Dilihat dari Syarat Sah Perjanjian di Pasal 1320 KUHPerdata:
  1. Sepakat Mengikatkan Diri;
  2. Kecakapan Membuat Perjanjian;
  3. Hal Tertentu, dan
  4. Klausula yang Halal (Tidak melanggar UU, Kesusilaan dan Ketertiban Umum).

Secara umum, keempat syarat tersebut menjelaskan, bahwa perjanjian harus berdasarkan kehendak semua pihak. Kemudian, syarat yang kedua berarti pihak yang menjalin kontrak mesti memiliki kewenangan subjektif terhadap hukum. Sementara itu, syarat ketiga dan keempat bersifat objektif.

Dilihat dari Syarat Sah Perjanjian Kerja di Pasal 52 UU Ketenagakerjaan:
  1. Kesepakatan kedua belah pihak;
  2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
  3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
  4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  5. Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b dapat dibatalkan; dan Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf c dan d batal demi hukum.

Dilihat dari Isi Perjanjian Kerja yang wajib ada di Pasal 54 UU Ketenagakerjaan:
  1. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
  2. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
  3. Jabatan atau jenis pekerjaan;
  4. Tempat pekerjaan;
  5. Besarnya upah dan cara pembayarannya;
  6. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/ buruh;
  7. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
  8. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
  9. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Dilihat dari ketentuan Hukum Acara PPHI di Pasal 57 UU PPHI:
Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang PPHI. Berikut adalah sumber hukum acara Pengadilan Hubungan Industrial yaitu:
  1. HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement);
  2. RBG (Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madur);
  3. RV (Reglement op de Rechvordering);
  4. UU No.2 tahun 2004 tentang PPHI.

Maka dapat disimpulkan bahwa UU PPHI merupakan lex specialis dari HIR, RBG dan RV dengan kata lain hukum acara perdata diberlakukan dalam proses peradilanya.

Dilihat dari ketentuan Alat Bukti Hukum Acara Perdata (PHI):
Berdasarkan ketentuan pasal 164 HIR, pasal 284 Rbg serta pasal 1886 KUHPerdata  ada 5 (lima) alat bukti dalam perkara perdata di Indonesia.
  1. Alat bukti tertulis;
  2. Alat bukti saksi;
  3. Alat bukti persangkaaan;
  4. Alat bukti pengakuan;
  5. Alat bukti sumpah.

Dilihat dari ketentuan Alat Bukti dalam UU ITE di Pasal 5 ayat (1) UU ITE:
Pasal 5ayat (2) UU ITE mengatur bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
  1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik;
  2. Hasil cetak dari Informasi Elektronik dan/atau hasil cetak dari Dokumen Elektronik.
  3. Ketentuan alat bukti dalam pasal 5 ayat (1) UU ITE merupakan perluasan alat bukti dari ketentuan pasal 164 HIR, pasal 284 Rbg serta pasal 1886 KUHPerdata.

Dilihat dari Syarat-syarat Sah Tanda Tangan Elektronik di Pasal 11 UU ITE:
  1. Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan;
  2. Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan;
  3. Segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
  4. Segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
  5. Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya; dan
  6. Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait.

Dilihat dari Jenis Tanda Tangan Elektronik di PP No. 71 tahun 2019:
  1. Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi;
  2. Tanda Tangan Elektronik tidak tersertifikasi.
  3. Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi harus memenuhi persyaratan, Dibuat dengan menggunakan jasa penyelenggara sertifikasi elektronik; dan Dibuktikan dengan Sertifikat Elektronik.

Dilihat dari Kekuatan Pembuktian Sertifikasi Tanda Tangan Elektronik di PP No. 71 tahun 2019:
  1. Akibat hukum dari penggunaan Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi atau yang tidak tersertifikasi berpengaruh terhadap kekuatan nilai pembuktian.
  2. Tanda Tangan Elektronik yang tidak tersertifikasi tetap mempunyai kekuatan nilai pembuktian meskipun relatif lemah karena masih dapat ditampik oleh yang bersangkutan atau relatif dapat dengan mudah diubah oleh pihak lain dalam Persidangan.
  3. Dalam praktiknya perlu diperhatikan rentang kekuatan nilai pembuktian dari Tanda Tangan Elektronik yang bernilai pembuktian lemah, seperti tanda tangan manual yang dipindai (scanned) menjadi Tanda Tangan Elektronik sampai dengan Tanda Tangan Elektronik yang bernilai pembuktian paling kuat, seperti Tanda Tangan Elektronik yang diterbitkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik yang tersertifikasi.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan:
  1. Penerapan Tanda Tangan Elektronik pada Perjanjian Kerja (PKWT/PKWTT) adalah tidak melanggar undang-undang yang berlaku di Indonesia;
  2. Perjanjian Kerja (PKWT/PKWTT) dengan Tanda Tangan Elektronik berlaku Sah dan  Mengikat bagi Para Pihak selayaknya Perjanjian Kerja (PKWT/PKWTT)  yang ditandatangani secara Manual;
  3. Kekuatan Pembuktian Perjanjian Kerja (PKWT/PKWTT) dengan Tanda Tangan Elektronik memiliki nilai pembuktian “SEMPURNA” layaknya alat bukti surat pada umumnya, tetapi dengan catatan Tanda Tangan Elektronik pada Perjanjian kerja (PKWT/PKWTT) tsb sudah dilakukan Sertifikasi oleh Jasa Penyelenggara Sertifikasi Elektronik dan dibuktikan dengan Sertifikat Elektronik;
  4. Penerapan tandatangan digital harus memenuhi syarat materiil dan formil sebagaimana sudah dijelaskan di atas.
Penulis : Yanuar Aditya Putra, SH, CIPR (Praktisi IR & Advokat)

0 comments:

Post a Comment